Implementasi Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Dibawah Binaan Kementerian Agama

On Rabu, April 26, 2017

Sahabat Abdima,
Mendengar dan membaca Pendidikan Karakter kami yakin bukanlah hal yang asing bagi kita, apalagi pada beberapa tahun terakhir ini hal tersebut terus di gaungkan terutama dalam dunia pendidikan. Lembaga pendidikan selain mampu mencetak generasi yang intelektual juga diharuskan dapat mencetak generasi yang berkarakter (berbudi pekerti luhur).

Hal tersebut sangat cocok dengan pemikiran Bapak Pendidikan yakni beliau Ki Hajar Dewantara, yang mengatakan bahwa Pendidikan memiliki tujuan umum yakni untuk memanusiakan manusia sehingga dalam pendidikan yang diolah bukan hanya kecerdasan otak (head) tetapi juga kecerdasan hati (heart), dan ketrampilan untuk menciptakan (hand).

Implementasi Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Dibawah Binaan Kemenag

Berbicara mengenai Pendidikan karakter sebenarnya bukanlah semata-mata hanya menjadi tanggung jawab lembaga pendidikan saja, bukan berarti sebagai pendidik kami ingin lari dari tanggung jawab dan peran akan tetapi peran orang tua pada saat dirumah juga sangat memiliki andil dalam pendidikan karakter ini. Keluarga merupakan tempat pendidikan yang pertama bagi anak, namun sering kali pada kenyataannya banyak orang tua yang melimpahkan dan mempercayakan pendidikan karakter anaknya pada pihak Madrasah dan sudah barang tentu dengan berbagai alasan yang berbeda anatara orang tua satu dengan yang lainya.

Berkenaan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Dibawah Binaan Kementerian Agama, dimana Madrasah menjadi salah satu satuan pendidikan didalamnya, Baru-baru ini Kementerian Agama telah menerbitkan surat Edaran Nomor : 2986/SJ/DJ.I/4/2017 Tentang Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Dibawah Binaan Kementerian Agama.

Surat edaran Kementerian Agama tersebut sebagai tindak lanjut atas arahan Presiden Republik Indonesia untuk mengutamakan dan membudayakan pendidikan karakter di dalam dunia pendidikan sebagai implementasi dari program Nawacita yang dicanangkan melalui Gerakan Nasional Revolusi Mental (GNRM) dan dalam rangka menumbuhkan nasionalisme dan patriotisme di kalangan peserta didik jenjang pendidikan dasar dan menengah.

Isi dari surat Edaran sebagaimana kami maksud diatas menyebutkan bahwa seluruh kepala satuan pendidikan madrasah dan kepala satuan pendidikan keagamaan di bawah binaan Kementerian Agama agar mengimplementasikan pendidikan karakter yang antara lain :
  • Memasang naskah Pancasila, Foto Presiden RI dan Wakil Presiden RI di setiap ruang kelas, serta beberapa foto pahlawan nasional yang diletakkan dalam bingkai/pigura yang rapi;
  • Membudayakan penyanyian lagu kebangsaan Indonesia Raya yang dilanjutkan dengan pembacaan do'a menurut agama dan kepercayaan masing-masing di setiap awal kegiatan Belajar Mengajar (KBM) dan menyanyikan salah satu lagu kebangsaan/nasional lainnya yang dilanjutkan dengan pembacaan do'a di setiap akhir kegiatan KBM.

Berikut dibawah ini Surat Edaran yang kami maksud :


Jika melihat kondisi Madrasah saat ini, kami kira edaran tersebut bagi Madrasah hanyalah sekedar penegasan saja, karena ada ataupun tidak adanya edaran tersebut Madrasah sudah terbiasa dengan melalukan hal-hal sebagaimana edaran tersebut, bahkan banyak yang lebih dari itu. Madrasah telah terbiasa melaksanakan membaca Asmaul Husna, membaca surat-surat pendek sebelum kegiatan kegiatan Belajar Mengajar (KBM), Sholat Dhuha pada saat istirahat, sholat dzuhur berjamaah dan lain sebagainya. Jadi kami kira yang perlu di lakukan oleh Madrasah hanyalah memadukan atau menyesuaikan kebiasaan pendidikan karakter yang sudah berjalan dengan surat edaran sebagaimana tersebut diatas.

Demikian info mengenai Surat Edaran Implementasi Penguatan Pendidikan Karakter Pada Satuan Pendidikan Dibawah Binaan Kementerian Agama, semoga Madrasah selalu terdepan dalam mencetak generasi yang berkarakter karimah dan semoga info ini ada manfaatnya._Abdima

Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Di Madrasah

On Jumat, Juni 12, 2015

Sahabat Abdima,
Fenomena semakin menurunnya karakter bangsa juga menjadi tantangan tersendiri bagi madrasah. Terlebih madrasah mengusung model pendidikan dengan kelebihan subjek metter agama sebagai identitas. Minimnya jam belajar agama di sekolah umum yang seringkali disinyalir sebagai salah satu penyebab rusaknya moral anak bangsa, bagi madrasah terbantahkan. Di madrasah setidaknya memiliki 8 jam pelajaran agama (4 mata pelajaran pendidikan agama Islam) yakni Aqidah Akhlak, Al Qur’an Hadits, Fiqih, dan Sejarah Kebudayaan Islam.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara terstruktur dengan melibatkan komponen-komponen pendidikan seperti manajemen, biaya, sarana dan prasarana, kurikulum, peserta didik, dan pendidik. Madrasah dibangun sebagai wahana pendidikan formal dalam rangka meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai peserta didik.

Sebagai suatu sistem sosial, madrasah dapat dipandang sebagai organisasi yang interaktif dan dinamis, sebab di dalamnya terdapat sejumlah orang yang memiliki kepentingan yang sama (kepentingan penyelenggaraan pendidikan), tetapi kemampuan setiap individu pada komunitas itu memiliki potensi dan latar belakang yang berbeda.

Para ahli pendidikan karakter melihat proses internalisasi nilai dalam pembelajaran, termasuk internalisasi pendidikan karakter di Madrasah pada dua pendekatan, yakni :
  1. Madrasah secara terstruktur mengembangkan pendidikan karakter melalui kurikulum formal.
  2. Pendidikan karakter berlangsung secara alamiah dan sukarela melalui jalinan hubungan interpersonal antar warga madrasah, meski hal ini tidak diatur secara langsung dalam kurikulum formal.
Kurikulum merupakan rencana tertulis yang berisi tentang ide-ide dan gagasan-gagasan yang dirumuskan oleh pengembang kurikulum. Kurikulum dapat diartikan sebagai sebuah dokumen perencanaan yang berisi tujuan yang harus dicapai, isi materi dan pengalaman belajar yang harus dilakukan peserta didik, strategi dan cara yang dapat dikembangkan, evaluasi yang dirancang untuk mengumpulkan informasi tentang pencapaian tujuan, serta implementasi dari dokumen yang dirancang dalam kehidupan nyata. Komponen-komponen kurikulum saling berkaitan dan saling mempengaruhi, terdiri dari tujuan yang menjadi arah pendidikan, komponen pengalaman belajar, komponen strategi pencapaian tujuan, dan komponen evaluasi. (Sanjaya, 2010: 16).

Kurikulum berfungsi sebagai pedoman yang memberikan arah dan tujuan pendidikan. Desain kurikulum pendidikan karakter bukan sebagai teks bahan ajar yang diajarkan secara akademik, tetapi lebih merupakan proses pembiasaan perilaku bermoral. Nilai moral dapat diajarkan secara tersendiri maupun diintegrasikan dengan seluruh mata pelajaran dengan mengangkat moral pendidikan atau moral kehidupan, sehingga seluruh proses pendidikan merupakan proses moralisasi perilaku peserta didik. Bukan proses pemberian pengetahuan moral, tetapi suatu proses pengintegrasian moral pengetahuan.

Penerapan pendidikan karakter pada kurikulum dapat dilihat pada porsi pelajaran agama yang menurut penulis cukup banyak dibandingkan sekolah umum. Pendidikan Agama Islam di Madrasah terdiri atas empat mata pelajaran, yaitu: Al-Qur'an-Hadist, Akidah-Akhlak, Fikih, dan Sejarah Kebudayaan Islam. Masing-masing mata pelajaran tersebut pada dasarnya saling terkait, isi mengisi dan melengkapi. Al-Qur'an-hadis merupakan sumber utama ajaran Islam, dalam arti ia merupakan sumber akidah-akhlak, syari’ah/fikih (ibadah, muamalah), sehingga kajiannya berada di setiap unsur tersebut. (Permenag No. 2 tahun 2008).

Kurikulum formal yang baku tersebut masih ditambah lagi dengan beberapa materi agama yang menunjang kurikulum formal, yakni muatan lokal seperti ibadah kemasyarakatan, tahfiz Al-Qur’an dan lain-lain. Pada beberapa madrasah yang memanfaatkan peluang-peluang belajar di luar kelas sebagai wahana pengembangan pendidikan, kegiatan ektrakurikuler juga muncul sebagai keunggulan tersendiri yang pada giliranya melahirkan kredibilitas tersendiri bagi lembaga.

Tidak jarang kita dengar alasan-alasan orang tua dalam memilih sekolah sebagai tempat belajar anaknya atas dasar pertimbangan mereka terhadap sejumlah kegiatan di luar kegiatan tatap muka di kelas. Dengan demikian, kegiatan ektrakurikuler dapat dikembangkan dalam beragam cara sebagai media pendidikan karakter. Penyelenggaraan kegiatan yang memberikan kesempatan luas kepada pihak madrasah, pada giliranya menuntut kepala madrasah, guru, siswa dan pihak-pihak yang terkait untuk secara efektif merancang sejumlah kegiatan sebagai muatan kegiatan ektrakurikuler berbasis pendidikan karakter.

Adapun terkait dengan pendekatan yang kedua, dimana pendidikan karakter tidak secara langsung dimasukkan ke dalam kurikulum formal, melainkan berlangsung alamiah dan sukarela, maka tugas madrasah menciptakan kondisi yang kondusif untuk teraktualisasinya nilai-nilai akhlak mulia dalam interaksi kehidupan di madrasah. Untuk hal ini maka komponen perangkat madrasah dalam hal ini Kepala Madrasah, Guru, Tata Usaha dan Komite Madrasah memegang peranan yang strategis.
Sumber : Jurnal Al-Ta’lim, Jilid 1, Nomor 6 November 2013

Demikian artikel mengenai Internalisasi Nilai-Nilai Pendidikan Karakter Di Madrasah, semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Memahami Strategi Pelaksanaan Pendidikan Karakter Di Sekolah/Madrasah

On Kamis, Mei 21, 2015

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Sahabat Abdima,
Strategi pelaksanaan pendidikan karakter yang diterapkan di sekolah/madrasah dapat dilakukan melalui empat cara, yaitu :
  1. Pembelajaran (teaching);
  2. Keteladanan (modeling);
  3. Penguatan (reinforcing);
  4. Pembiasaan (habituating).
Efektivitas pendidikan karakter sangat ditentukan oleh adanya pembelajaran (teaching), keteladanan (modeling), penguatan (reinforcing), dan pembiasaan (habituating) yang dilakukan secara serentak dan berkelanjutan.

Adapun pendekatan yang strategis terhadap pelaksanaan ini melibakan tiga komponen yang saling terkait satu sama lain, yaitu :
  1. Sekolah/Madrasah/kampus;
  2. Keluarga, dan
  3. Masyarakat.
  • Ketika komponen sekolah/madrasah (kampus) sepenuhnya akan menerapkan dan melaksanakan nilai-nilai (karakter) tertentu (prioritas), maka setiap nilai yang akan ditanamkan atau dipraktikkan tersebut harus senantiasa disampaikan oleh para guru melalui pembelajaran langsung (sebagai mata pelajaan) atau mengintegraskannya ke dalam setiap mata pelajaran.
  • Nilai-nilai prioritas tersebut selanjutnya harus juga dimodelkan (diteladankan) secara teratur dan berkesinambungan oleh semua warga sekolah (kampus), sejak dari petugas parkir, petugas kebersihan, petugas keamanan, karyawan administrasi, guru, dan pimpinan sekolah.
  • Selanjutnya, nilai-nilai itu harus diperkuat oleh penataan lingkungan dan kegiataan-kegiatan di lingkungan sekolah (kampus). Penataan lingkungan di sini antara lain dengan menempatkan banner (spanduk-spanduk) yang mengarah dan memberikan dukungan bagi terbentuknya suasana kehidupan sekolah (kampus) yang berkarakter terpuji. Penguatan dapat pula dilakukan dengan melibatkan komponen keluarga dan masyarakat. Komponen keluarga meliputi pengembangan dan pembentukan karakter di rumah. Pihak sekolah (kampus) dapat melibatkan para orang tua untuk lebih peduli terhadap perilaku para anak-anak mereka. Sedangkan komponen masyarakat atau komunitas secara umum adalah sebagai wahana praktik atau sebagai alat kontrol bagi perilaku siswa dalam mengembangkan dan membentuk karakter mereka. Pihak sekolah (kampus) dapat melakukan komunikasi dan interaksi dengan keluarga dan masyarakat ini dari waktu ke waktu secara periodik.
  • Pembiasaan (habituation) dapat dilakukan di sekolah dengan berbagai cara dan menyangkut banyak hal seperti disiplin waktu, etika berpakaian, etika pergaulan, perlakuan siswa terhadap karyawan, guru, dan pimpinan, dan sebaliknya. Pembiasaan yang dilakukan oleh pimpinan, guru, siswa, dan karyawan, dalam disiplin suatu lembaga pendidikan merupakan langkah yang sangat strategis dalam mebentuk karakter secara bersama.
Ditulis Oleh : Ajat Sudrajat Dosen FIS UNY


Inilah Tahap-Tahap Pembentukan Karakter Siswa

On Kamis, Mei 07, 2015

Sahabat Abdima,
Membentuk karakter tidak bisa dilakukan dalam sekejap dengan memberikan nasihat, perintah, atau instruksi, namun lebih dari hal tersebut. Pembentukan karakter memerlukan teladan/role model, kesabaran, pembiasaan, dan pengulangan. Dengan demikian, proses pendidikan karakter merupakan proses pendidikan yang dialami oleh siswa sebagai bentuk pengalaman pembentukan kepribadian melalui mengalami sendiri nilai-nilai kehidupan, agama, dan moral.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Menurut Ratna Megawangi, pendiri Indonesia Heritage Foundation, ada tiga tahap pembentukan karakter, yakni :
  1. MORAL KNOWING : Memahamkan dengan baik pada anak tentang arti kebaikan. Mengapa harus berperilaku baik. Untuk apa berperilaku baik. Dan apa manfaat berperilaku baik;
  2. MORAL FEELING : Membangun kecintaan berperilaku baik pada anak yang akan menjadi sumber energi anak untuk berperilaku baik. Membentuk karakter adalah dengan cara menumbuhkannya;
  3. MORAL ACTION : Bagaimana membuat pengetahuan moral menjadi tindakan nyata. Moral action ini merupakan outcome dari dua tahap sebelumnya dan harus dilakukan berulang-ulang agar menjadi moral behavior.
Dengan melalui tiga tahap tersebut, proses pembentukan karakter akan menjadi lebih mengena dan siswa akan berbuat baik karena dorongan internal dari dalam dirinya sendiri. Terkait pilar pendidikan karakter, Ratna Megawangi mengungkapkan ada 9 pilar karakter yang harus ditumbuhkan dalam diri siswa :
  1. Cinta pada Allah SWT, dengan segenap ciptaan-Nya;
  2. Kemandirian dan tanggung jawab;
  3. Kejujuran, bijaksana;
  4. Hormat, santun;
  5. Dermawan, suka menolong, gotong royong;
  6. Percaya diri, kreatif, bekerja keras;
  7. Kepemimpinan, keadilan;
  8. Baik hati, rendah hati;
  9. Toleransi, Kedamaian, kesatuan Kesembilan pilar karakter perlu diajarkan dengan menggunakan metode knowing the good, feeling the good, dan acting the good. 
Knowing the good bisa mudah diajarkan sebab pengetahuan bersifat kognitif saja. Setelah knowing the good harus ditumbuhkan feeling loving the good, yakni bagaimana merasakan dan mencintai kebajikan menjadiengine yang selalu bekerja membuat orang mau selalu berbuat sesuatu kebaikan. Orang mau melakukan perilaku kebajikan karena dia cinta dengan perilaku kebajikan itu. Setelah terbiasa melakukan kebajikan acting the good berubah menjadi kebiasaan.

Dalam kegiatan proses pembelajaran, membentuk siswa berkarakter dapat dimulai dari pembuatan perencanaan pelaksanaan pembelajaran (RPP). Karakter yang akan dikembangkan dapat ditulis secara eksplisit pada RPP. Dengan demikian, dalam setiap kegiatan pembelajaran guru perlu menetapkan karakter yang akan dikembangkan sesuai dengan materi, metode, dan strategi pembelajaran.

Ketika guru ingin menguatkan karakter kerjasama, disiplin waktu, keberanian, dan percaya diri, maka guru perlu memberikan kegiatan-kegiatan dalam proses pembelajaran sehari-hari. Guru perlu menyadari bahwa guru harus memberikan banyak perhatian pada karakter yang ingin dikembangkan ketika proses pembelajaran sedang berlangsung. Seperti kita ketahui bahwa belajar tidak hanya untuk mendapatkan ilmu pengetahuan saja, namun juga dapat menerapkan ilmu pengetahuan dalam bentuk karya yang mencerminkan keterampilan dan meningkatkan sikap positif.
Sumber : pendidikankarakter.com

Demikian artikel mengenai Inilah Tahap-tahap pembentukan karakter siswa, semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Cara Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas

On Jumat, April 17, 2015

Sahabat Abdima,
Dalam tataran teori, pendidikan karakter sangat menjanjikan bagi menjawab persoalan pendidikan di Indonesia. Namun dalam tataran praktik, seringkali terjadi bias dalam penerapannya. Tetapi sebagai sebuah upaya, pendidikan karakter haruslah sebuah program yang terukur pencapaiannya.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Bicara mengenai pengukuran artinya harus ada alat ukurnya, kalo alat ukur pendidikan matematika jelas, kasih soal ujian jika nilainya diatas strandard kelulusan artinya dia bisa. Nah, bagaimana dengan pendidikan karakter?

Jika diberi soal mengenai pendidikan karakter maka soal tersebut tidak benar-benar mengukur keadaan sebenarnya. Misalnya, jika anda bertemu orang yang tersesat ditengah jalan dan tidak memiliki uang untuk melanjutkan perjalananya apa yang anda lakukan? Untuk hasil nilai ujian yang baik maka jawabannya adalah menolong orang tersebut, entah memberikan uang ataupun mengantarnya ke tujuannya.

Pertanyaan kami, apabila hal ini benar-benar terjadi apakah akan terjadi seperti teorinya? Seperti jawaban ujian? Lalu apa alat ukur pendidikan karakter? Observasi atau pengamatan yang disertai dengan indikator perilaku yang dikehendaki. Misalnya, mengamati seorang siswa di kelas selama pelajaran tertentu, tentunya siswa tersebut tidak tahu saat dia sedang di observasi.

Nah, kita dapat menentukan indikator jika dia memiliki perilaku yang baik saat guru menjelaskan, anggaplah mendengarkan dengan seksama, tidak ribut dan adanya catatan yang lengkap. Mudah bukan? Dan ini harus dibandingkan dengan beberapa situasi, bukan hanya didalam kelas saja. Ada banyak cara untuk mengukur hal ini, gunakan kreativitas anda serta kerendahan hati untuk belajar lebih maksimal agar pengukuran ini lebih sempurna.

Membentuk siswa yang berkarakter bukan suatu upaya mudah dan cepat. Hal tersebut memerlukan upaya terus menerus dan refleksi mendalam untuk membuat rentetan Moral Choice (keputusan moral) yang harus ditindaklanjuti dengan aksi nyata, sehingga menjadi hal yang praktis dan reflektif.

Diperlukan sejumlah waktu untuk membuat semua itu menjadi custom (kebiasaan) dan membentuk watak atau tabiat seseorang. Menurut Helen Keller (manusia buta-tuli pertama yang lulus cum laude dari Radcliffe College di tahun 1904) “Character cannot be develop in ease and quite. Only through experience of trial and suffering can the soul be strengthened, vision cleared, ambition inspired, and success achieved”.

Selain itu pencanangan pendidikan karakter tentunya dimaksudkan untuk menjadi salah satu jawaban terhadap beragam persoalan bangsa yang saat ini banyak dilihat, didengar dan dirasakan, yang mana banyak persoalan muncul yang di indentifikasi bersumber dari gagalnya pendidikan dalam menyuntikkan nilai-nilai moral terhadap peserta didiknya. Hal ini tentunya sangat tepat, karena tujuan pendidikan bukan hanya melahirkan insan yang cerdas, namun juga menciptakan insan yang berkarakter kuat. Seperti yang dikatakan Dr. Martin Luther King, yakni “intelligence plus character that is the goal of true education” (kecerdasan yang berkarakter adalah tujuan akhir pendidikan yang sebenarnya).

Banyak hal yang dapat dilakukan untuk merealisasikan pendidikan karakter di sekolah/madrasah.  Konsep karakter tidak cukup dijadikan sebagai suatu poin dalam silabus dan rencana pelaksanaan pembelajaran di sekolah, namun harus lebih dari itu, dijalankan dan dipraktekan.

Mulailah dengan belajar taat dengan peraturan sekolah/madrasah, dan tegakkan itu secara disiplin. Sekolah/madrasah harus menjadikan pendidikan karakter sebagai sebuah tatanan nilai yang berkembang dengan baik di sekolah/madrasah yang diwujudkan dalam contoh dan seruan nyata yang dipertontonkan oleh tenaga pendidik dan kependidikan di sekolah/madrasah dalam keseharian kegiatan di sekolah/madrasah.

Di sisi lain, pendidikan karakter merupakan upaya yang harus melibatkan semua pemangku kepentingan dalam pendidikan, baik pihak keluarga, sekolah/madrasah dan lingkungan sekolah/madrasah dan juga masyarakat luas. Oleh karena itu, langkah awal yang perlu dilakukan adalah membangun kembali kemitraan dan jejaring pendidikan yang kelihatannya mulai terputus diantara ketiga stakeholders terdekat dalam lingkungan sekolah yaitu guru, keluarga dan masyarakat.

Pembentukan dan pendidikan karakter tidak akan berhasil selama antara stakeholder lingkungan pendidikan tidak ada kesinambungan dan keharmonisan. Dengan demikian, rumah tangga dan keluarga sebagai lingkungan pembentukan dan pendidikan karakter pertama dan utama harus lebih diberdayakan yang kemudian didukung oleh lingkungan dan kondisi pembelajaran di sekolah yang memperkuat siklus pembentukan tersebut.

Di samping itu tidak kalah pentingnya pendidikan di masyarakat. Lingkungan masyarakat juga sangat mempengaruhi terhadap karakter dan watak seseorang. Lingkungan masyarakat luas sangat mempengaruhi terhadap keberhasilan penanaman nilai-nilai etika, estetika untuk pembentukan karakter. Menurut Qurais Shihab (1996; 321), situasi kemasyarakatan dengan sistem nilai yang dianutnya, mempengaruhi sikap dan cara pandang masyarakat secara keseluruhan. Jika sistem nilai dan pandangan mereka terbatas pada kini dan disini, maka upaya dan ambisinya terbatas pada hal yang sama.

Maka kuncinya sudah dipaparkan diatas, ada alat ukur yang benar sehingga ada evaluasi dan tahu apa yang harus diperbaiki, adanya tiga komponen penting (guru, keluarga dan masyarakat) dalam upaya merelaisasikan pendidikan karakter berlangsung secara nyata bukan hanya wacana saja tanpa aksi. Ingat, Pendidikan karakter melalui sekolah/madrasah, tidak semata-mata pembelajaran pengetahuan semata, tetapi lebih dari itu, yaitu penanaman moral, nilai-nilai etika, estetika, budi pekerti yang luhur. Dan yang terpenting adalah praktekan setelah informasi tersebut di berikan dan lakukan dengan disiplin oleh setiap elemen sekolah/madrasah.
Sumber : pendidikankarakter.com

Demikian artikel mengenai Cara Mewujudkan Pendidikan Karakter Yang Berkualitas, semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Madrasah Sebagai Solusi Bagi Pendidikan Karakter

On Selasa, April 14, 2015

Sahabat Abdima,
Madrasah adalah salah satu lembaga pendidikan Islam yang penting di Indonesia selain pesantren. Keberadaannya begitu penting dalam menciptakan kader-kader bangsa yang berwawasan keislaman dan berjiwa nasionalisme yang tinggi. Salah satu kelebihan yang dimiliki madrasah adalah adanya integrasi ilmu umum dan ilmu agama.

Madrasah merupakan lembaga pendidikan yang dikelola secara terstruktur dengan melibatkan komponen-komponen pendidikan seperti manajemen, biaya, sarana dan prasarana, kruikulum, peserta didik, dan pendidik. Madrasah dibangun sebagai wahana pendidikan formal dalam rangka meningkatkan pengetahuan, keterampilan, sikap dan nilai peserta didik. Sebagai suatu sistem sosial, madrasah dapat dipandang sebagai organisasi yang interaktif dan dinamis, sebab di dalamnya terdapat sejumlah orang yang memiliki kepentingan yang sama (kepentingan penyelenggaraan pendidikan), tetapi kemampuan setiap individu pada komunitas itu memiliki potensi dan latar belakang yang berbeda.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Madrasah merupakan salah satu bentuk lembaga Pendidikan Islam yang berfungsi merealisasikan cita-cita umat Islam yang mengharapkan anak-anaknya menjadi manusia yang berimtak dan beriptek.

Sebagai institusi pendidikan formal, Madrasah berperan dalam mempersiapkan siswa untuk dapat memecahkan masalah kehidupan masa kini dan masa datang dengan memaksimalkan potensi-potensi yang ada pada dirinya.

Atas dasar tersebut diatas, maka madrasah wajib menyelenggarakan proses pembelajaran dengan baik dengan memperhatikan berbagai faktor penunjangnya. Dalam perkembangannya, madrasah yang tadinya hanya dipandang sebelah mata, secara perlahan-lahan telah berhasil mendapat perhatian dari masyarakat. Apresiasi ini menjadi modal besar bagi madrasah untuk memberikan yang terbaik bagi bangsa.

Dalam konteks kekinian, sekarang ini banyak sekali madrasah-madrasah yang menawarkan konsep pendidikan modern. Konsep ini tidak hanya menawarkan dan memberikan pelajaran atau pendidikan agama. Akan tetapi mengadaptasi mata pelajaran umum yang diterapkan di berbagai sekolah umum. Kemajuan madrasah tidak hanya terletak pada sdm-nya saja, namun juga desain kurikulum yang lebih canggih, dan sistem manajerial yang modern. Selain itu, perkembangan kemajuan madrasah juga didukung dengan sarana infrastruktur dan fasilitas yang memadai sesuai dengan kebutuhan kegiatan belajar-mengajar di madrasah.

Pendidikan yang berlandaskan ilmu-ilmu ke-Islam-an yang mampu mensinerjikan berbagai disiplin ilmu yang menghasilkan kemajuan baik dibidang ilmu pengetahuan itu sendiri, sosial, budaya, politik dan masih banyak lagi kemajuan yang ditimbulkan. dan pendidikan yang demikian bisa didapatkan dalam lingkup madrasah sehingga akan terbentuk karakter-karakter siswa yang moderat dan islami.

Demikian artikel mengenai Madrasah Sebagai Solusi Bagi Pendidikan Karakter, semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Mengapa Guru Perlu Menanamkan Pendidikan Karakter Pada Siswa ?

On Jumat, Maret 20, 2015

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Sahabat Abdima,
Pendidikan karakter adalah suatu sistem penanaman nilai-nilai karakter kepada warga sekolah/madrasah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melaksanakan nilai-nilai tersebut, baik terhadap Tuhan Yang Maha Esa (YME), diri sendiri, sesama, lingkungan, maupun kebangsaan sehingga menjadi manusia insan kamil.

Seperti yang kami baca pada situs Inspired Teacher (www.inspiredteacher.net), bahwa di sekolah/madrasah, guru perlu mengajarkan pendidikan karakter karena beberapa alasan diantaranya :

Pertama,
Siswa tidak selalu mendapatkan pendidikan karakter di rumah.
Sebenarnya pendidikan karakter merupakan tugas orang tua, karena karakter pertama kali diajarkan dalam lingkungan keluarga. Orang tua yang ingin anaknya memiliki karakter yang baik dan kuat harus bersedia menyediakan waktu, energi, pikiran, dan materi untuk mewujudkannya. Namun, terkadang orang tua sibuk bekerja dan tidak berkesempatan menghabiskan waktu bersama anak.

Selain itu, anak yang bersekolah sampai sore dan memiliki kegiatan sesudah pulang sekolah, membuat mereka menghabiskan lebih banyak waktu dengan guru daripada dengan orang tua.

Kedua,
Pendidikan karakter membangun hubungan baik.
Ketika siswa berinteraksi dengan teman sebaya dan guru, hubungan yang baik terjalin diantara mereka di ruang kelas. Hubungan ini tidak hanya sangat bermanfaat baik secara social mapun personal, namun juga meningkatkan manajemen ruang kelas

Ketiga,
Pendidikan karakter menciptakan lingkungan disekolah/madrasah yang positif.
Dalam pembelajaran di kelas, kegiatan diskusi dan kegiatan lain membuat sekolah/madrasah menjadi memiliki atmosfer positif. Siswa berinteraksi dengan teman sebaya, dan hubungan siswa-guru semakin menguat. Pendidikan karakter memungkinkan guru untuk berbagi pengalaman hidup.

Keempat,
Pendidikan karakter itu mudah dilakukan.
Pendidikan karakter tidak harus menghabiskan waktu beberapa jam di kelas. Namun, dapat dilakukan sebelum jam pembelajaran ataupun selama beberapa menit di awal pembelajaran untuk mendiskusikan hal-hal menarik dan mutakhir, ataupun juga dapat dengan melakukan kegiatan pembiasaan diri.

Kelima,
Pendidikan karakter dapat mengubah dunia.
Siswa/anak akan menjadi orang dewasa di masa depan. Mereka akan membentuk masyarakat. Memang penting bagi mereka untuk menjadi lulusan yang berpendidikan tinggi, namun yang lebih penting lagi adalah nilai bahwa mereka akan menjadi warga Negara yang hidup di dunia dalam keramahan, saling menghormati, bekerjasama dengan orang lain.

Yang tak kalah pentingnya dalam pendidikan karakter di sekolah/madrasah, semua komponen (stakeholders) harus dilibatkan, termasuk komponen-komponen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian, kualitas hubungan, penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan sekolah, pelaksanaan aktivitas, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan, dan etos kerja seluruh warga dan lingkungan sekolah/madrasah.

Demikian sedikit catatan mengenai Mengapa Guru Perlu Menanamkan Pendidikan Karakter Pada Siswa ? semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Islam

On Jumat, Februari 27, 2015

Sahabat Abdima,
Pengertian karakter adalah watak, tabiat, pembawaan, kebiasaan. Karakter adalah cara berpikir dan berperilaku yang menjadi ciri khas individu untuk hidup dan bekerjasama, baik dalam lingkup keluarga, masyarakat, bangsa dan Negara.

Pendidikan Karakter di Sekolah/Madrasah

Menurut bahasa, karakter adalah tabiat atau kebiasaan. Sedangkan menurut ahli psikologi, karakter adalah sebuah system keyakinan dan kebiasaan yang mengarahkan tindakan seorang individu. Karena itu, jika pengetahuan mengenai karakter seseorang itu dapat diketahui, maka dapat diketahui pula bagaimana individu tersebut akan bersikap untuk kondisi-kondisi tertentu.

Dalam kamus besar Bahasa Indonesia, karakter diartikan sebagai sifat-sifat, kejiwaan, akhlak atau budi pekerti yang menjadi cirri khas seseorang. (M. Zulfajri dan Ratu Aprilia Senja, 2003: 422). Adapun Hernowo mengartikan karakter sebagai watak, sifat atau hal-hal yang sangat mendasar pada diri seseorang. Karakter juga bisa diartikan sebagai watak, tabiat atau akhlak yang membedakan seseorang denan orang lain. (Hernowo, 2004:175).

Pengertian karakter diatas sama dengan pengertian akhlak dalam pandangan IslamAkhlak adalah sifat yang muncul dari jiwa seseorang untuk melakukan perbuatan secara tidak sadar dan tanpa peertimbangan terlebih dahulu. Beberapa tokoh yang memberikan pengertian akhlak antara lain adalah Imam Ghazali yang memaknai akhlak sebagai sifat yang tertanam dalam jiwa yang melahirkan berbagai macam perbuatan dengan mudah tanpa memerlukan pemikiran dan pertimbangan. (Imam Ghazali, tt: 56).

Perbuatan seseorang akan menjadi karakter atau akhlak jika dilakukan berulangulang dan menjadi kebiasaan dalam perilaku kehidupannya sehari-hari. Pendidikan karakter adalah pendidikan budi pekerti plus, yaitu yang melibatkan aspek pengetahuan (cognitive), perasaan (feeling), dan tindakan (action). Menurut Thomas Lickona, tanpa ketiga aspek ini, maka pendidikan karakter tidak akan efektif. Dengan pendidikan karakter yang diterapkan secara sistematis dan berkelanjutan, seorang anak akan menjadi cerdas emosinya. Kecerdasan emosi ini adalah bekal penting dalam mempersiapkan anak menyongsong masa depan, karena seseorang akan lebih mudah dan berhasil menghadapi segala macam tantangan kehidupan, termasuk tantangan untuk berhasil secara akademis. (Thomas Lickona, E Shapes dan C. Lewis, 2003:2)

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai proses penanaman nilai-nilai esensial pada diri anak melalui serangkaian kegiatan pembelajaran dan pendampingan sehingga para siswa sebagai individu mampu memahami, mengalami, dan mengintegrasikan nilai-nilai yang menjadi core values dalam pendidikan yang dijalaninya kedalam kepribadiannya.

Dengan menempatkan pendidikan karakter dalam kerangka dinamika dan dialektika proses pembentukan individu, para insan pendidik diharapkan semakin dapat menyadari pentingnya pendidikan karakter sebagai sarana pembentuk pedoman perilaku, pembentukan akhlak, dan pengayaan nilai individu dengan cara menyediakan ruang bagi figur keteladanan dan menciptakan sebuah lingkungan yang kondusif bagi proses pertumbuhan, berupa kenyamanan dan keamanan yang membantu suasana pengembangan diri satu sama lain dalam keseluruhan dimensinya (teknis, intelektual, psikologis, moral, sosial, estetis, dan religius).

Pendidikan karakter dapat dimaknai sebagai sebuah usaha untuk mendidik anak-anak agar dapat mengambil keputusan dengan bijak dan memperaktekannya dalam kehidupan sehari-hari, sehingga mereka dapat memberikan kontribusi yang positif kepada lingkungannya.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber

Demikian artikel mengenai Pendidikan Karakter Dalam Pandangan Islam, semoga ada manfaatnya._Abdi Madrasah

Metode Pembentukan Karakter Siswa Madrasah Menurut Perspektif Islam

On Rabu, Januari 22, 2014

Sahabat Abdima,
Pada hakikatnya pendididkan karakter merupakan suatu sistem yang berupaya untuk menanamkan nilai-nilai luhur warga madrasah yang meliputi komponen pengetahuan, kesadaran atau kemauan, dan tindakan untuk melakukan nilai-nilai tersebut. Dalam pelaksanaan karakter di Madrasah, semua komponen madrasah harus dilibatkan, termasuk kompenen pendidikan itu sendiri, yaitu isi kurikulum, proses pembelajaran dan penilaian , penanganan atau pengelolaan mata pelajaran, pengelolaan madrasah, pelaksanaan aktivitas, atau kegiatan kokurikuler, pemberdayaan sarana prasarana, pembiayaan dan ethos kerja seluruh warga madrasah/lingkungan.

Metode Pembentukan Karakter Siswa Madrasah Menurut Perspektif Islam

Dalam pendidikan karakter ini, segala sesuatu yang dilakukan guru harus mampu mempengaruhi karakter peserta didik sebagai pembentuk watak peserta didik, guru harus menunjukan keteladanan. Segala hal tentang perilaku guru hendaknya menjadi contoh peserta didik, misalnya, cara guru berbicara atau menyampaikan materi, cara guru bertoleransi, dan berbagai hal terkait lainnya. Tujuannya adalah membentuk pribadi anak agar menjadi manusia yang baik, warga masyarakat yang baik, dan warga negara yang baik.

Kriteria manusia, warga masyarakat dan warga negara yang baik bagi suatu masyarakat atau bangsa secara umum didasarkan pada nilai-nilai sosial tertentu, yang banyak dipengaruhi oleh budaya masyarakat dan bangsanya itu sendiri. Oleh karena itu, hakekat dari pendidikan karakter dalam pendidikan di Indonesia adalah pendidikan nilai, yakni pendidikan nilai-nilai luhur yang bersumber dari budaya bangsa Indonesia sendiri serta niali-nilai dari ajaran agama, dalam rangka membina generasi muda.

Dewasa ini banyak pihak menuntut peningkatan intensitas dan kualitas pelaksanaan pendidikan karakter pada lembaga pendidikan formal. Tuntutan tersebut didasarkan pada fenomena sosial yang berkembang yakni meningkatnya kenakalan para remaja dalam masyarakat, seperti perkelahian massal dan berbagai kasus dekadensi moral lainnya. Bahkan di kota-kota besar tertentu, gejala tersebut telah sampai pada taraf yang sangat meresahkan masyarakat. Oleh karena itu, lembaga pendidikan formal sebagai wadah resmi pembinaan generasi muda diharapkan dapat meningkatkan peranannya dalam pembentukan kepribadian peserta didik melalui peningkatan intensitas dan kualitas pendidikan karakter.

Berdasarkan pembahasan di atas, dapat ditegaskan bahwa pendidikan karakter merupakan upaya-upaya yang dirancang dan dilaksanakan secara sistematis untuk membantu peserta didik memahami nilai-nilai perilaku manusia yang berhubungan dengan Tuhan YME, diri sendiri, sesama manusia, lingkungan, dan kebangsaan yang terwujud dalam pikiran, sikap, perasaan, perkataan, dan perbuatan berdasarkan norma-norma agama, hukum, tata krama, budaya, dan adat istiadat, yang didukung metode pembentukan karakter yang tepat dalam pembinaan genera muda secara islami.

Karakter Peserta didik yang diharapkan
Karakter dapat diartikan sebagai bawaan, hati, jiwa, kepribadian, budi pekerti, prilaku, personalitas, sifat, tabiat, temperamen dan watak seseorang. Karakter dalam pengertian ini menandai dan memfokuskan pengaplikasian nilai-nilai kebaikan dalam bentuk tindakan dan tingkah laku. Orang-orang yang tidak mengaplikasikan nilai-nilai kebaikan tentu saja berkarakter jelek, sedang yang mengaplikasikan berkarakter mulia.

Karakter yang dimaksudkan adalah karakter yang mulia yang diharapkan dan dapat dikembangkan peserta didik. Dalam hal ini membangun karakter peserta didik mengarah pada pengertian tentang mengembangkan peserta didik agar memiliki kepribadian, prilaku, sifat, tabiat, dan watak yang selagi mulia. Karakter seprti ini mengacu kepada serangkaian sikap, perilaku, motivasi, dan kecakapan yang memenuhi standar nilai dan norma yang dijunjung tinggi dan dipatuhi.

Peserta didik yang memiliki karakter mulia memiliki pengetahuan tentang potensi dirinya, yang ditandai dengan nilai-nilai yang positif dan mulia dan selalu berusaha untuk melakukan hal-hal yang terbaik terhadap Tuhan, dirinya, sesama lingkungan bangsa dan negara bahkan terhadap negara Internasional pada umumnya dengan mengoptimalkan potensi dirinya dan disertai dengan kesadaran, emosi dan motivasinya.

Peran Guru dalam Pendidikan Karakter
Membangun peradaban sebuah bangsa pada hakikatnya adalah pengembangan watak dan karakter manusia unggul dari sisi intelektual, spiritual, emosional, dan fisikal yang dilandasi oleh fitrah kemanusiaan. Fitrah adalah titik tolak kemuliaan manusia, baik sebagai bawaan seseorang sejak lahir atau sebagai hasil proses pendidikan.

Dalam konteks pembangunan sektor pendidikan, guru merupakan pemegang peran yang amat sentral dalam proses pendidikan. Upaya meningkatkan profesionalisme para pendidik adalah suatu keniscayaan. Guru harus mendapatkan program-program pelatihan secara tersistem agar tetap memiliki profesionalisme yang tinggi dan siap melakukan adopsi inovasi. Guru juga harus mendapatkan ” Reward ” (tanda jasa),penghargaan dan kesejahteraan yang layak atas pengabdian dan jasanya, sehingga setiap inovasi dan pembaruan dalam bidang pendidikan dapat diterima dan dijalaninya dengan baik. Di sinilah kemudian karakteristik pendidikan guru memiliki kualitas ketika menyajikan bahan pengajaran kepada subjek didik. Kualitas seorang guru dapat diukur dari segi moralitas, bijaksana, sabar dan menguasai bahan pelajaran ketika beradaptasi dengan subjek didik. Sejumlah faktor itu membuat dirinya mampu menghadapi masalah-masalah sulit, tidak mudah frustasi, depresi atau stress secara positif, dan tidak destruktif.

Dalam karakter pendidikan guru penting sekali dikembangkan nilai-nilai etika dan estetika inti seperti kepedulian, kejujuran, keadilan, tanggung jawab, dan rasa hormat terhadap diri dan orang lain bersama dengan nilai-nilai kinerja pendukungnya seperti ketekunan, etos kerja yang tinggi, dan kegigihan sebagai basis karakter yang baik. Guru harus berkomitmen untuk mengembangkan karakter peserta didik berdasarkan nilai-nilai yang dimaksud serta mendefinisikannya dalam bentuk perilaku yang dapat diamati dalam kehidupan sekolah sehari-hari. Yang terpenting adalah semua komponen sekolah bertanggung jawab terhadap standar-standar perilaku yang konsisten sesuai dengan nilai-nilai inti.

Seseorang dapat dikatakan berkarakter jika telah berhasil menyerap nilai dan keyakinan yang dikehendaki masyarakat serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam hidupnya. Demikian juga seorang pendidik dikatakan berkarakter, jika memiliki nilai dan keyakinan yang dilandasi hakikat dan tujuan pendidikan serta digunakan sebagai kekuatan moral dalam menjalankan tugasnya sebagai pendidik. Dengan demikian pendidik yang berkarakter, berarti telah memiliki kepribadian yang ditinjau dari titik tolak etis atau moral, seperti sifat kejujuran, amanah, keteladanan, ataupun sifat-sifat lain yang harus melekat pada diri pendidik. Pendidik yang berkarakter kuat tidak hanya memiliki kemampuan mengajar dalam arti sempit (transfer pengetahuan /ilmu), melainkan juga harus memiliki kemampuan mendidik dalam arti luas (keteladanan sehari-hari).

Metode Pembentukan Karakter dalam Pendidikan Islam
Kepercayaan akan adanya fitrah yang baik pada diri manusia akan mempengaruhi implikasi-implikasi penerapan metode-metode yang seharusnya diterapkan dalam proses belajar mengajar. Dalam pendidikan Islam banyak metode yang diterapkan dan digunakan dalam pembentukan karakter. Menurut An-nahlawy metode untuk pembentukan karakter dan menanamkan keimanan, yaitu :

1. Metode perumpamaan.
Metode ini adalah penyajian bahan pembelajaran dengan mengangkat perumpamaan yang ada dalam al-Qur’an. Metode ini mempermudah peserta didik dalam memahami konsep yang abstrak, ini terjadi karena perumpamaan itu mengambil benda konkrit seperti kelemahan orang kafir yang diumpamakan dengan sarang laba-laba, dimana sarang laba-laba itu memang lemah sekali disentuh dengan lidipun dapat rusak. Metode ini sama seperti yang disampaikan olehAbdurrahman Saleh Abdullah.

2. Metode keteladanan.
Metode keteladanan, adalah memberikan teladan atau contoh yang baik kepada peserta didik dalam kehidupan sehari-hari. Metode ini merupakan pedoman untuk bertindak dalam merealisasikan tujuan pendidik. Pelajar cenderung meneladani pendidiknya, ini hendaknya dilakukan oleh semua ahli pendidikan,. dasarnya karena secara psikologis pelajar memang senang meniru, tidak saja yang baik, tetapi yang tidak baik juga ditiru.

3. Metode ibrah dan mau`izah.
Metode Ibrah dan Mau’izah. Metode Ibrah adalah penyajian bahan pembelajaran yang bertujuan melatih daya nalar pembelajar dalam menangkap makna terselubung dari suatu pernyataan atau suatu kondisi psikis yang menyampaikan manusia kepada intisari sesuatu yang disaksikan, yang dihadapi dengan menggunakan nalar. Sedangkan metode Mau’izah adalah pemberian motivasi dengan menggunakan keuntungan dan kerugian dalam melakukan perbuatan.

4. Metode Hiwar Qurani/Kitabi.
Hasbi Assidiqy seperti yang dikutip oleh Wawan Susetya mendefinisikan salat menjadi empat pengertian, pada definisi kedua ia memaknai salat sebagai hakikat salat (dalam perspektif batin) yaitu berhadapan hati (jiwa) kepada Allah secara yang mendatangkan takut padaNya, serta menumbuhkan di dalam hati jiwa rasa keagungan kebesaran-Nya dan kesempurnan kekuasaan-Nya. Makna lainya ialah: hakikat salat yaitu menzahirkan hajat dan keperluan kita kepada Allah yang kita sembah dengan perkataan dan perbuatan.

Bila kita pahami dalam proses shalat terdapat dialog antara Allah dan hambaNya, seperti dalam surat Fatihah terjadi dialaog yang sangat dalam antar hamba dan Allah SWT. Di dalam surat ini manusia memohon perlindungan kepada Allah dari godaan sayithan, menyatakan Allah itu yang Maha Pengasih dan Penyayang, memuji Allah sebagai penguasa mutlak alam semesta, menyatakan bahwasanya Allah penguasa mutlak hari kiamat, manusia mengakui kelemahannya dengan penyataan kepada-Mu kami menyembah, hanya kepadaMulah kami meminta pertolongan, manusia memohon petunjuk kepada Allah dalam menjalani kehidupan sebagaimana orang-orang yang Allah telah beri nikmat, dan berlindung dari kesesatan.

Metode dialog ini begitu menyadarkan kita akan kelemahan dan kekurangan. Dalam pendidikan seorang guru perlu melakukan dialog untuk menegtahui perkembangan siswa dan mengidentifikasi masalah-masalah yang dapat menjadi factor penghambat belajar. Untuk itu seorang guru harus memiliki sikap bersahabat, kasih sayang kepada peserta didik.

Nurcholis Majid pernah menyatakan lebih jauh makna salat dalam kehidupan sehari-hari ialah mengandung ajaran berbuat amal saleh kepada manusia dan lingkungan, sesuai pesan-pesan salat sejak takbir hingga salam.

Dari pemaparan di atas dapat kita pahami bahwa metode hiwar (dialog) sangat efektif untuk menjalin komunikasi dan hubungan social antara guru dan peserta didik, peserta didik dengan peserta didik. Bila komunikasi multi arah telah terbangun maka siswa dapat mengikuti pelajaran dengan baik dan tujuan pendidikan dapat terwujud.

5. Metode Pembiasaan.
Metode pembiasaan atau dalam istilah psikologi pendidikan dikenal dengan istilah operan conditioning. Siswa diajarkan untuk membiasakan berprilaku terpuji, giat belajar, bekerja keras, berrtanggung jawab atas setiap tugas yang telah diberikan.Salat dilakukan 5 kali sehari semalam ialah membiasakan umat manusia untuk hidup bersih dengan symbol wudhu, disiplin waktu dengan ditandai azan disetiap waktu salat, bertanggung jawab dengan simbol pengakuan di dalam bacaan doa iftitah "sesungguhnya salatku, ibadahku, hidup dan matiku untuk Allah", doa ini memberikan isyarat berupa tanggung jawab atas anugrah yang Allah telah berikan. Pada saat ruku dan sujud umat muslim diajarkan untuk bersikap rendah hati. Sikap rendah hati inilah merupakan awal kemulian seseorang.

Di dalam hadits Qudsi Allah berfirman :
" tidaklah aku menerima salat setiap orang, Aku menerima slat dari orang yang merendah demi ketinggianku, berkhusyuk demi keagunganku, mencegah nafsunya demi larangku, melewatkan siang dan malam dalam mengingatku, tidak terus menerus dalam pembangkanagan terhadapku, tidak bersikap angkuh terhadap mahlukku, dan selalu mengasihani yang lemah dan menghibur orang miskin demi keridhoanku. Bila ia memanggilku, aku akan memberinya. Bila ia bersumpah dengan namaku aku akan membuatnya mampu memenuhinya. Akan aku jaga ia dengan kekuatanku dan kubanggakan dia diantara malaikatku. Seandainya aku bagi-bagikan nurnya untuk seluruh penghuni bumi, niscaya akan cukp bagi mereka. Perumpamaannya seperti surga firdaus, bebuahannya tidak akan rusak dan kenikmatannya tidak akan sirna " (H.R. Muslim).

Dari matan hadis ini dapat dipahami bahwa, pelaksanaan shalat tidak hanya sekedar melaksanakan kewajiban pada waktu-waktu salat, melainkan tetap memaknai salat sepanjang aktivitas sehari-hari.

Imam fachrurrazi menjelaskan kata shalatihim daaimuun ialah orang-orang yang menjaga salat dengan menunaikannya diwaktunya masing-masing dan memperhatikan hal-hal yang terkait dengan kesempurnaan salat. Hal-hal tersebut baik yang dilakukan sebelum salat dan setelah salat.

Metode pembiasaan ini perlu diterapkan oleh guru dalam proses pembentukan karakter, bila seorang anak telah terbiasa dengan sifat-sifat terpuji, impuls-impuls positif menuju neokortek lalu tersimpan dalam system limbic otak sehingga aktivitas yang dilakukan oleh siswa tercover secara positif. Untuk itu pihak penyelenggara sekolah sepantasnya menyediakan ruangan dan waktu untuk siswa melaksanakan salat secara berjamaah. Dengan melaksanakan salat berjama`ah minimal Zuhur dan Ashar karena kedua waktu sholat ini masih dalam waktu pembelajaran, atau shalat Duha, siswa siswi dididik beradaptasi dengan lingkungan sosialnya, pada saat salat berjama`ah mereka dapat belajar bagaimana berkata yang baik, bersikap sopan dan santun, menghargai saudaranya sesama muslim, dan terjalinnya tali persaudaraaan. Bila susasana seperti ini telah dibiasakan mereka lakukan kemungkinan tidak akan gagap menghadapi persoalan kehidupan di masyarakat. Bahkan mereka dapat menjadi tauladan bagi masyarakatnya.

6. Metode Targib dan Tarhib.
Metode ini dalam teori metode belajar modern dikenal dengan reward dan funisment. Yaitu suatu metode dimana hadiah dan hukuman menjadi konsekuensi dari aktivitas belajar siswa, bila siswa dapat mencerminkan sikap yang baik maka ia berhak mendapatkan hadiah dan sebaliknya mendapatkan hukuman ketika ia tidak dapat dengan baik menjalankan tugasnya sebagai siswa.

Begitu pula halnya salat, saat seorang melakukan salat dengan baik dan mampu ia implementasikan dalam kehidupan sehari-hari maka ia mendapatkan kebaikan baik dari Allah dan masyarakat sebagaimana yang telah dijelaskan dimuka hadis riwayat Muslim "Suurga firdaus untuk orang-orang yang dapat mengamalkan shalat dengan baik dan benar". Sebaliknya bagi mereka yang melalaikan dan tidak melakasanakan salat neraka weil dan Saqor baginya.

Metode reward dan funishment ini menjadi motivasi eksternal bagi siswa dalam proses belajar. Sebab, khususnya anak-anak dan remaja awal ketika disuguhkan hadiah untuk yang dapat belajar dengan baik dan ancaman bagi mereka yang tidak disiplin, mayoritas siswa termotivasi belajar dan bersikap disiplin. Hal ini bisa terjadi karena secara psikologi manusia memiliki kecenderungan untuk berbuat baik dan mendapatkan balasan dari perbuatan baiknya.
Sumber : Diolah dari berbagai sumber