Perang Dunia II antara kelompok Sekutu melawan kelompok Amerika Serikat (Sentral) semakin berkecamuk. Pada tanggal 1 Maret 1945 tentara Jepang (Dai Nippon Teikoku) mendarat di Pulau Jawa dan memaksa Gubernur Jenderal Belanda, Tjarda van Starkenborgh Stachouwer menyerah tanpa syarat kepada Panglima Bala Tentara Jepang, Jenderal Imamura di Kalijati (Subang-Jawa Barat) pada 9 Maret 1945. Dengan demikian berakhirlah penjajahan Hindia Belanda di Nusantara, dan mulailah penjajahan Jepang di tanah air kita tercinta.
Sementara itu Perang Dunia masih terus berkecamuk. Pada tahun 1943 tentara Jepang mulai terdesak di semua medan pertempuran. Dalam keadaan yang demikian, Pemerintah Jepang memberikan janji kepada bangsa Indonesia, bahwa bangsa Indonesia akan diberikan kemerdekaan di kelak kemudian hari dalam lingkungan kemakmuran bersama Asia Timur Raya, apabila perang dunia II berakhir dengan kemenangan pada pihak Jepang. Janji tersebut diucapkan oleh Perdana menteri Jepang Jenderal Kaiso pada 7 September 1944 di depan sidang Istimewa Dewan Perwakilan Rakyat Jepang (Toikuhu Gikai).
Janji tersebut tertunya bermaksud agar Bangsa Indonesia simpati kepada Jepang dalam menghadapi tentara Sekutu. Pada 1 Maret 1945, bertepatan dengan tiga tahun dimulainya ”Pembangunan Jawa Baru” (pendaratan Tentara Jepang di Jawa) Pemerintah Jepang mengumumkan bahwa akan segera dibentuk Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia. Pada 29 April 1945, oleh Seikoo Sikikan dibentuklah Dokuritsu Zyumbi Tyoosakai atau Badan Penyelidik Usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia, yang beranggotakan 63 orang, yang terdiri dari Ketua /Kaicoo( Dr. KRT, Radjiman Wedyodiningrat, Ketua Muda /Fuku Kaicoo Ichbangase (orang Jepang), dan seorang ketua muda dari bangsa Indonesia RP Soeroso (Effendi, 1995: 9). BPUPKI dilantik pada tanggal 28 Mei 1945 (bertepatan kelahiran Kaisar Jepang Tenno Haika) oleh Letnan Jenderal Kumakici, Panglima Tentara Keenam Belas Jepang di Jawa.
Tugas pokok BPUPKI adalah menyelenggarakan pemeriksaan dasar tentang hal-hal penting, rancangan-rancangan dan penyelidikan yang berhubungan dengan usaha mendirikan negara Indonesia yang baru (Pasha, 2003:8).
Sidang BPUPKI I (29 Mei – 1 Juni 1945)
Sehari setelah dilantik, Badan penyelidik Usaha Persiapan kemerdekaan Indonesia / Dokuritsu Zyunbi Tyosakai segera mengadakan sidang, yang dikenal dengan Sidang BPPKI pertama. Sidang dilaksanakan dari tanggal 29 Mei sampai dengan 1 Juni 1945. Dalam sidang ini secara berturut-turut tampil beberapa tokoh, yang menyampaikan usulan yang berupa gagasan dasar Indonesia merdeka. Tokoh-tokoh tersebut adalah :
1). Muhammad Yamin
Muhammad Yamin yang berpidato pada tanggal 29 Mei 1945 menyampaikan usul dasar Indonesia merdeka adalah :
I. Peri Kebangsaan
II. Peri Kemanusiaan
III. Peri Ketuhanan
IV. Peri Kerakyatan (A.Permusyawaratan, B. Perwakilan, C. Kebijaksanaan)
V. Kesejahteraan Rakyat (Keadilan Sosial) ( Kaelan, 2002: 38).
2). Tokoh-tokoh Islam
Sidang hari kedua, 30 Mei 1945 tampil tokoh-tokoh Islam, yaitu K.H. Wahid Hasyim, Ki Bagus Hadikusumo dan K.H.A. Kahar Muzakir. Mereka mengusulkan agar dasar negara yang disepakati nanti adalah dasar Islam, mengingat bahwa sebagian terbesar rakyat Indonesia beragama Islam. Tetapi Bung Hatta yang berpidato pada hari itu juga tidak menyetujui dasar Islam ini. Bung Hatta mengusulkan agar dibentuk Negara Persatuan Nasional, yang memisahkan urusan negara dengan urusan agama (Effendi, 1995: 14).
3). Soepomo
Giliran kedua yang mendapat kesempatan untuk berpidato adalah Soepomo, pada tanggal 30 Mei 1945. Menurut Effendi (1995:14) dalam pidatonya Supomo menguraikan panjang lebar tentang teori kenegaraan secara yuridis, politis dan sosiologis, serta syarat-syarat berdirinya negara, bentuk negara, bentuk pemerintahan dan hubungan antara negara dan agama. Supomo setuju dengan pendapat Bung Hatta agar urusan agama dipisahkan dengan urusan negara. Ia juga tidak menyetujui dasar Islam, karena menurutnya tidak sesuai dengan cita-cita negara persatuan yang telah diidam-idamkan. Supomo juga mengusulkan, negara yang akan dibentuk merupakan negara yang akan menjadi anggota dari lingkungan kemakmuran bersama di Asia Timur Raya. Sedangkan di lingkungan ini, menurut Supomo anggota-anggota yang lain seperti Negeri Nippon, Tiongkok, Manchukuo, Filipina, Thai, Birma bukan negara Islam. Supomo mengusulkan dasar negara yang mirip dengan usulan Yamin. Ia mengusulkan dasar negara, sebagai berikut:
I. Persatuan (persatuan hidup)
II. Kekeluargaan
III. Keseimbangan lahir batin
IV. Musyawarah
V. Semangat Gotong royong (Keadilan sosial) (Effendi, 1995:14)
4). Soekarno
Pada tanggal 1 Juni 1945, giliran Soekarno berpidato di depan sidang BPUPKI. Pada awal pidatonya, ia mengemukan, “ Setelah tiga hari berturu-turut anggota-anggota Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai mengeluarkan pendapat-pendapatnya, maka sekarang saya mendapatkan kehormatan untuk mengemukakan pula pendapat saya. Saya akan menepati permintaan Tuan Ketua yang Mulia. Apakah permintaan Tuan Ketua yang Mulia? Tuan Ketua yang Mulia minta kepada sidang Dokuritsu Zyunbi Tyoosakai untuk mengemukakan dasar Indonesia merdeka Dasar inillah nanti akan saya kemukakan di dalam pidato saya ini” (Ana,I.D.,Singgih Hawibowo, dan Agus Wahyudi (ed), 2006: 92).
Dalam pidato tersebut Soekarno mengusulkan dasar negara yang terdiri atas lima prinsip. Lima prinsip tersebut oleh teman beliau yang ahli bahasa (tidak disebutkan namanya) di beri nama Pancasila. Lima prinsip yang diajukan oleh Soekarno adalah :
I. Nasionalisme ( Kebangsaan Indonesia)
II. Internasionalisme (Peri Kemanusiaan)
III. Mufakat (Demokrasi)
IV. Kesejahteraan Sosial
V. Ketuhanan Yang Maha Esa (Ketuhanan Yang Berkebudayaan)
Soekarno juga mengusulkan, tiga asas dasar Indonesia merdeka yang diberi nama Tri Sila, yang merupakan perasan dari Pancasila yang terdiri dari tiga sila, yaitu :
I. Socio- Nasionalisme
II. Socio-democratie
III. Ketuhanan
Dalam pidatonya Bung Karno juga mengatakan,” Jikalau saya peras yang lima menjadi tiga, dan yang tiga menjadi satu, maka dapatlah saya satu perkataan Indonesia yang tulen, yaitu perkataan Gotong-royong” atau Ekasila.
Selesai sidang, BPUPKI membentuk Panitia Kecil atau Panitia Sembilan untuk merumuskan kembali secara bersama-sama hasil sidang BPUPKI I berdasarkan sumbangan-sumbangan pemikiran para pembicara. Sembilan tokoh yang dibentuk oleh BPUPKI yang merupakan Panitia Sembilan, menurut Pasha, (2003: 21-22) secara representatif telah mewakili golongan kebangsaan dan golongan Islam. Empat tokoh yang mewakili golongan kebangsaan adalah Bung Hatta, Mohammad Yamin, Ahmad Soebardjo dan A.A. Maramis. Empat tokoh dari golongan Islam adalah H. Agus Salim, Abikusno Tjokrosujoso (yang keduanya merupakan tokoh politisi Muslim), K.H. Abdul Kahar Muzakir (tokoh Muhammadiyah), dan K.H. Wachid Hasjim (tokoh N.U.). Kedelapan tokoh tersebut diketuai oleh Bung Karno.
Pada tangga 22 Juni 1945 setelah bekerja keras, Panitia Sembilan berhasil merumuskan sebuah naskah yang oleh Mohammad Yamin diberi nama ”Piagam Jakarta” atau ”Jakarta Charter” yang di dalamnya terdapat rumusan Pancasila, yaitu :
I. Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya.
II. Kemanusiaan yang adil dan beradab
III. Persatuan Indonesia
IV. Kerakyatan yang dipimpin oleh hikmat kebijaksanaan dalam permusyawaratan perwakilan
V. Keadilan sosial bagi seluruh rakyat Indonesia
Soepomo menyatakan bahwa Piagam Jakarta benar-benar merupakan “Perjanjian moral yang sangat luhur”. Sedangkan menurut Soekiman Wirjosandjojo menyebutnya sebagai “Gentlement Agreement” (Pasha, 2003 23).
Notonagoro (1983: 168) mengomentari Piagam Jakarta sebagai berikut,
”Pancasila yang disusun pada tanggal 22 Juni 1945 oleh Panitia 9 Anggota Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia sebagai ’suatu perjanjian moral yang sangat luhur”.
Pancasila dalam hari kedua ini disetujui oleh Panitia Kecil Badan Penyelidik Usaha-usaha Persiapan Kemerdekaan Indonesia dalam rapat besar Badan tersebut pada tanggal 10 Juli 1945. Dalam pidatonya, Ketua Panitia Kecil itu, ialah P.Y.M.
Presiden Negara kita sekarang menyatakan bahwa ”Sebenarnya adalah kesukaran antara golongan yang dinamakan Islam dan golongan yang dinamakan kebangsaan, mula-mula ada kesukaran mencari kecocokan paham antara kedua golongan ini, terutama yang mengenai soal agama dan negara, ...”
Sidang BPUPKI II ( 10 – 17 Juli 1945)
Menurut Kaelan (2002: 40) pada hari pertama sebelum sidang BPUPKI dimulai, oleh ketua diumumkan adanya penambahan 6 anggota baru BPUPKI, yaitu : (1) Abdul Fatah, (2) Hasan, (3) Asikin Natanagara, (4) Soerjo Hamidjojo, (5) Besar, dan (6) Abdul Gaffar. Dengan penambahan enam anggota baru tersebut, maka anggota BPUPKI seluruhnya berjumlah 69 orang.
Bung Karno sebagai Ketua Panitia Kecil, pada hari pertama Sidang BPUPKI 10 Juli 1945, melaporkan berbagai usul. Usul tersebut telah dirumuskan dalam Rancangan Preambul Hukum Dasar (Piagam Jakarta) dan ditandatangani oleh sembilan orang anggota Panitia Kecil.
Sampai dengan hari kedua (11 Juli 1945) Ketua Sidang BPUPKI masih memberikan kesempatan para anggota untuk memberikan masukan dan usul-usul yang berhubungan dengan hukum dan UUD. Pada saat itu terdapat 35 orang yang berbicara, menyampaikan usul dan masukan. Pada pukul 16.40 Ketua Sidang membentuk tiga buah Panitia Khusus, yaitu :
- Panitia Perancang Undang-Undang Dasar yang diketuai Bung Karno, beranggotakan 19 orang.
- Panitia Pembelaan Tanah Air, beranggotakan 23 orang, diketuai oleh Abikusno Tjokro Sujoso.
- Panitia Soal Keuangan dan Ekonomi, beranggotakan 23 orang, diketuai oleh Bung Hatta.
Petang hari itu juga Panitia Perancang Undang-Undang Dasar mengadakan sidang. Setelah membahas beberapa masalah yang akan dimasukkan ke dalam Undang-Undang Dasar, rapat mengambil dua keputusan penting, yaitu :
- Menyetujui Rancangan Preambul yang sudah ditandatangani pada 22 Juni 1945, yaitu Piagam Jakarta.
- Membentuk Panitia Kecil Perancang UUD, yang berkewajiban merumuskan rancangan isi batang tubuh UUD. Panitia Kecil ini diketuai oleh Mr. Soepomo, yang beranggotakan tujuh orang, yaitu : (1) A.A. Maramis; (2) KRT Wongsonegoro; (3) H. Agus Salim; (4) R. Pandji Singgih; (5) dr. Sukiman; dan (6) Ahmad Soebardjo.
Berdasarkan dua keputusan tersebut, berarti Panitia Perancang Undang-Undang Dasar telah menyetujui Piagam Jakarta sebagai Pembukaan UUD yang akan dipergunakan nanti (Effendi, 1995: 21).
Pada tanggal 14 Juli 1945 BPUPKI bersidang lagi. Pada sidang ini Panitia Perancang Undang-Undang Dasar melaporkan hasil kerjanya, berupa rancangan Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari tiga bahan, yaitu:
- Rancangan Pernyataan Indonesia Merdeka atau Declaration of Independence.
- Rancangan Pembukaan Undang-Undang Dasar, yang isinya hampir sama dengan alinea keempat Piagam Jakarta yang memuat dasar negara, sebagaimana termuat dalam Piagam Jakarta.
- Rancangan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, yang terdiri dari 42 pasal.
Pada sidang tanggal 15 dan 16 Juli 1945, membahas tentang Rancangan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar, yang disususun oleh Panitia Kecil. Setelah adanya beberapa perubahan, pada tanggal 16 Juli 1945 sidang BPUPKI dapat menerima Ranangan Batang Tubuh Undang-Undang Dasar Dalam sidangnya pada tanggal 17 Juli 1945, BPUPKI dapat menerima hasil kerja Panitia Pembelaan Tanah Air dan juga menerima hasil kerja Panitia soal Keuangan dan Ekonomi.
Sidang PPKI 18 Agustus 1945
Sebelum sidang, anggota PPKI atas kehendak dan tanggung jawab Ketua (Bung Karno) ditambah enam orang anggota, yaitu (1) Wiranata Kusmah; (2) Ki Hadjar Dewantara; (3) Kasman Singodimedjo; (4) Sajuti Melik; (5) Iwa Kusuma Soemantri; (6) Ahmad Soebardjo.
Tanggal 18 Agustus 1945, PPKI akan mengadakan sidang yang rencananya dimulai pada pukul 09.30. Tetapi Bung Hatta meminta kepada Bung Karno sebagai Ketua PPKI agar sidang diundur. Alasannya, Bung Hatta akan mengadakan pendekatan (lobby) dengan kelompok Islam, karena sore hari tanggal 17 Agustus 1945, Bung Hatta telah kedatangan opsir Jepang yang mengaku utusan dari Kaigun (Angkatan Laut Jepang) yang menguasai daerah Indonesia Timur.
Kedatangan opsir tersebut didampingi oleh Sigetada Nisyijima (pembantu Laksamana Maeda), yang memberitahukan bahwa wakil-wakil Protestan dan Katholik di daerah yang dikuasai Angkatan Laut Jepang sangat keberatan terhadap bagian kalimat yang ada dalam Piagam Jakarta, yakni sila pertama yang berbunyi:
”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syari’at Islam bagi pemeluk-pemeluknya”.
Apabila kalimat yang mereka anggap memberatkan tersebut tidak dirubah, maka mereka akan berdiri di luar Negara Republik Indonesia, (Effendi, 1995: 31).
Selanjutnya, Bung Hatta sebelum sidang dimulai mengajak beberapa tokoh umat Islam yang duduk dalam anggota PPKI, yaitu Ki Bagoes Hadikoesoemo, K.H.A. Wahid Hasjim, Mr, Kasman Singodimedjo dan Mr. Teuku Moh. Hasan untuk mengadakan rapat pendahuluan (lobbying). Bung Hatta meminta kepada Ki Bagoes Hadikoesoemo agar berkenan merelakan ”tujuh kata” (dengan kewajiban menjalankan syariat Islam bagi pemeluk-pemeluknya) di belakang Ketuhanan dihapus dan diganti dengan ”Yang Maha Esa”.
Dalam waktu yang sangat singkat, kurang dari 15 menit mereka memperoleh kesepakatan, demi menjaga persatuan dan kesatuan serta keutuhan bangsa dan negara, dilakukan perubahan dari ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”.
Setelah adanya kesepakatan dengan tokoh-tokoh Islam, Bung Hatta segera melapor kepada ketua BPUPKI masalah hasil kesepakatan tersebut. Sidang PPKI pada tanggal 18 Agustus 1945 berjalan secara lancar dan menghasilkan beberapa keputusan, yaitu :
1) Memilih Presiden dan Wakil Presiden.
Secara aklamasi sidang menunjuk Bung Karno sebagai Presiden, dan Bung Hatta sebagai Wakil Presiden.
2) Mengesahkan Undang-undang Dasar 1945 dengan beberapa revisi:
- Piagam Jakarta dijadikan Pembukaan UUD 1945 setelah diadakan perubahan, yaitu rumusan sila pertama, ”Ketuhanan dengan kewajiban menjalankan syareat Islam bagi pemeluk-pemeluknya” diubah menjadi ”Ketuhanan Yang Maha Esa”
- Rancangan Hukum Dasar, yang merupakan hasil perumusan Panitia Perancang Hukum Dasar (Ketua Soepomo) disahkan menjadi UUD 1945 dengan beberapa perubahan, yaitu pasal 6 ayat (1) dan pasal 29 ayat (1), secara lengkap dapat dilihat pada kronologis sejarah perumusan pasal-pasal UUD 1945.