Arah Angin Sedang Menuju Madrasah

On Selasa, Januari 10, 2017

Sahabat Abdima,
Prestasi akademik yang dicapai anak madrasah saat ini tidak lepas dari kebijakan yang diterapkan oleh Kementerian Agama. Sejak awal mereka harus memilih antara sains, vokasi, atau keagamaan murni. Konsep madrasah yang baru itu didukung dengan program ma’had (asrama), sehingga bidang keagamaan ditanamkan sebagai fondasi. Jam pelajaran di sekolah lebih efektif dan efisien.

Salah seorang yang berperan penting membawa madrasah ke era persaingan bebas adalah direktur pada Direktorat Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Phil M. Nur Kholis Setiawan MA. Beliau peraih gelar Doktor phil Oriental and Islamic Studies dari Universitas Bonn, Jerman ini mengungkapkan pemikirannya.
Berikut ini petikannya :

Arah Angin Sedang Menuju Madrasah

Bagaimana kondisi madrasah saat ini?
Salah satu masalah utama yang awalnya kita hadapi pada awalnya adalah animo masyarakat yang makin hari makin rendah terhadap madrasah. Sekarang ini citra madrasah sudah bisa dinaikkan di berbagai daerah sehingga peminatnya tinggi. Saya ambil contoh di dekat Manado, Sulawesi Utara, ada Madrasah Ibtidaiyah Negeri jumlah siswanya diatas 2000. Sulit sekali mencari sekolah dasar yang jumlah siswanya sebanyak itu. Saya sendiri kaget. Madrasah yang ada diperkotaan apalagi, yang antre ribuan. Saya melihat masyarakat sudah punya pandangan yang berbeda terhadap madrasah.

Bagaimana citranya dibanding sekolah umum?
Kalau saya melihat data-data saat ini anak-anak madrasah telah berhasil meraih prestasi di semua bidang. Dalam lima tahun terakhir peningkatannya semakin luar biasa. Tidak hanya soal akademik, namun juga hal-hal non-akademik seperti olahraga, marching band, maupun semi-akademik seperti robotik.

Untuk membuat madrasah kompetitif bersaing dengan sekolah umum, di lingkup madrasah sendiri kami menggelar event-event bertaraf nasional. Misalnya saja Ajang Kompetisi Seni dan Olah Raga Madrasah (AKSIOMA) dan juga Kompetisi Sains Madrasah (KSM).

Mengapa hal ini tidak dilakukan dari dulu?
Saat ini kebijakan pemerintah sudah berpihak sepenuhnya. Madrasah sudah dilihat sebagai bagian integral dari sistem pendidikan nasional. Kalau dulu masih terdiskriminasi dalam berbagai hal. Contoh kecil saja, kalau ada ajang Olimpiade Sains Nasional anak madrasah tidak boleh ikut. Tetapi dari segi pendanaan masih terdiskriminasi. Kalau sekolah umum dibantu pusat dan daerah, misalnya Dinas Pendidikan dan Kebudayaan itu menggunakan strategi pendanaan otonomi daerah. Tetapi madrasah masih disangga secara vertikal saja oleh Kemenag.

Penilaian madrasah dalam akreditasi bagaimana?
Saat ini setengah jumlah madrasah yang sudah terakreditasi, levelnya B. Sisanya terakreditasi A dan C masing-masing 25%. Yang kita prioritaskan saat ini menaikkan yang dari C ke B. Sementara yang belum terakreditasi masih 15% dan kami berkomitmen untuk segera menyelesaikan, tetapi kami juga harus mengukur kemampuan karena lagi-lagi tantangan untuk madrasah swasta banyak di sarana dan prasarana. Katakanlah anggaran pemerintah untuk akreditasi dalam setahun 4% dalam skema APBN, maka target itu realistis dapat dicapai paling cepat dalam empat tahun. Hal ini tidak hanya bergantung Kemenag saja karena 94% madrasah itu milik masyarakat, hanya 6% saja yang milik pemerintah.

Maka sifat pemerintah hanya memberi stimulan saja dengan supervisi yang diperlukan. Untuk itu kami punya komitmen untuk melakukan bantuan dan pendampingan. Kalau madrasah negeri tentu semua sudah terakreditasi.

Bagaimana cara membuat anak madrasah sepintar anak SMA favorit?
Saat ini kami buat tiga kelompok besar madrasah. Pertama, madrasah akademik yang memilih spesialisasi bidang sains. Kedua, madrasah vokasi yang memiliki potensi keterampilan atau kejuruan. Ketiga, madrasah yang khusus untuk kajian keislaman. Dengan tiga segmen itu, kurikulum mereka tidak bisa lagi dan mereka siap diadu head to head dengan sekolah umum yang setara. Untuk madrasah vokasi kami sesuaikan dengan potensi lokal yang ada. Contohnya di Kabupaten Bolaang Mongondow, Sulawesi Utara, ada madrasah perikanan karena di sana potensi lautnya besar.

Orientasinya kemana tipe-tipe itu?
Tipe pertama jelas dididik untuk ilmuwan. Tipe kedua output-nya ya tenaga kerja. Sedangkan tipe ketiga kami persiapkan untuk ulama. Hasil akhir itu tidak tercapai dalam satu atau dua tahun mendatang tetapi butuh proses panjang. Kami ingin setidaknya ada garis demarkasi yang jelas dan regulasi yang jelas untuk pengembangan tiga tipologi itu dengan sama-sama berkarakter religius kuat.

Apa yang masih menjadi PR besar saat ini?
Sumberdaya guru dan sarana prasarana. Dari 813.595 guru madrasah, yang statusnya pegawai negeri sipil hanya 16%. Yang bukan pegawai negeri itu terkadang sulit diukur kompetensinya. Dengan pengembangan madrasah saat ini kami tidak butuh lagi guru agama, tapi yang kami butuhkan guru-guru sains dan guru-guru kejuruan.

Demikian ungkapan pemikiran Direktur Pendidikan Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kementerian Agama, Prof. Dr. Phil. H. M. Nur Kholis Setiawan, MA. yang kami salin dari Laporan Utama Majalah Pendidikan Islam Edisi 7 dengan Judul Arah Angin Sedang Menuju Madrasah. Semoga informasi ini dapat menambah pengetahuan dan wawasan kita terkait pengembangan dan kemajuan Madrasah._Abdi Madrasah

Evolusi Madrasah Di Zaman Yang Berubah

On Sabtu, Januari 07, 2017

Sahabat Abdima,
Tepuk tangan riuh bergema di studio MetroTV di Jakarta, penghujung November lalu. Ratusan penonton yang hadir di studio berdecak kagum saat tiga siswa madrasah ditampilkan ke atas stage untuk menceritakan pengalamannya memenangi lomba event-event bergengsi. Para juara muda itu adalah, Alin Azkannuha (14), Dafa Maheswara Wiryawan (17), dan Ayatul Marifah (17).

Azkannuha yang akrab dipanggil Azka adalah pemenang Lomba Penelitian Ilmiah Remaja tingkat SLTP yang diadakan oleh Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan RI. Bersama dua temannya, Nasim dan Faqih, remaja yang telah hafidz al-Qur’an itu mempersembahkan sebuah alat penetralisir karbon asap rokok menjadi oksigen.

Evolusi Madrasah Di Zaman yang Berubah

Karya aplikatif ini dibuat di sela-sela kesibukannya menghafal al-Qur’an dan bersekolah di Madrasah Tsanawiyah (MTs) Tahfidz Yanbuul Quran Kudus, Jawa Tengah. “Alat ini kami namakan Tifanter Twenty Five yang bisa diimplementasikan di smooking area,” jelas Azka yang telah menghafal komplit 30 juz.

Jagoan lain yang tampil di Metro TV saat itu adalah Dafa Maheswara Wiryawan dari Madrasah Aliyah Negeri (MAN) 4 Jakarta. Siswa kelas 10 ini sudah lebih dari sepuluh kali menjadi juara di berbagai event nasional maupun dunia. Terakhir, Dafa meraih medali perak di International Youth Robot Competition 2016 di Daejon, Korea Selatan, Agustus lalu. Ia menang dalam katagori coding mission creative robot mengalahkan para peserta dari 15 negara termasuk Israel, Russia, Tiongkok, Singapura, Malaysia, Amerika Serikat, dan Korea Selatan.

Yang ketiga, Ayatul Ma’rifah, tidak kalah hebat. Siswi cantik dari Madrasah Aliyah (MA) Universitas Islam Negeri (UIN) Sunan Kalijaga Yogyakarta ini adalah penulis dan peneliti belia. Ia pernah menyabet berbagai gelar juara dalam lomba karya ilmiah, di antaranya di Universitas Andalas Padang, Universitas Atmajaya Jakarta, dan Universitas Gadjah Mada Yogyakarta.

Gadis asal Magelang ini juga juara penulisan esai tingkat nasional yang atas tissu, beberapa detik kemudian terjadi reaksi. Jika makanan mengandung formalin maka tissu akan berubah menjadi pink dan jika mengandung boraks, maka tissu akan berwarna biru keunguan,” terangnya.

Penampilan anak-anak itu tentu saja membuat banyak penonton kagum. Cara mereka berpakaian, bertingkah laku, dan tutur bahasanya menciptakan kesan cerdas, sopan, dan saleh. Tepuk tangan sambung menyambung di sela-sela testimoni mereka.

Menteri Agama Lukman Hakim Saifuddin yang mendampingi mereka di acara itu mengaku bangga dengan prestasi yang mereka raih. Berbagai prestasi anak madrasah, menurut Menag, berimplikasi menaikkan citra madrasah di mata publik. Pada lima tahun terakhir madrasah mengalami perkembangan amat pesat,” katanya. Menurutnya madrasah kini tidak lagi menjadi lembaga pendidikan alternatif, tapi menjadi pilihan utama orang tua. Untuk itu kementerian yang dipimpinnya terus mengucurkan program strategis guna lebih memajukan sekolah berciri khas Islam itu. Antara lain dengan penguatan infrastruktur, pembaruan kurikulum, dan penguatan kompetensi guru.

Berbagai ikhtiar tersebut tidak percuma apabila dilihat dari perkembangan madrasah dalam beberapa tahun terakhir. Setidaknya sejak tahun 2004, berbagai prestasi ditorehkan madrasah-madrasah dari penjuru nusantara dalam berbagai hal, mulai nilai ujian nasional tertinggi, olimpiade sains, karya ilmiah, olahraga, marching band, robotik, dan lain-lain.

Pemberitaan media massa tentang prestasi anak madrasah saat ini bukan barang langka seperti zaman dahulu. Di ajang internasional, yang dahulu hanya konsumsi sekolah umum bonafid, kini tak lepas dari andil anak madrasah. Belum lama ini, di gelaran International Youth Robot Competition 2016 Korea, para siswa madrasah mendominasi perwakilan Indonesia.

Sejumlah nama berhasil membawa pulang medali. Syahrozad Zalfa Nadia, dari Madrasah Ibtidaiyah (MI) Pembangunan UIN Jakarta memborong empat medali dalam kategori coding mission, steem mission, dan creative design. Secara kelompok, madrasah Pembangunan UIN Jakarta juga meraih medali untuk tim “Mesin Cap Batik Otomatis”. Pada event internasional sebelumnya di Malaysia, madrasah ini meraih empat penghargaan dalam Asian Robotic Championship 2016 di Kuala Lumpur.

Di Singapura International Math Olympiad Challenge (SIMOC) 2016, lima siswa madrasah lainnya berhasil menorehkan prestasi. Yang lebih mengagumkan, mereka adalah anak-anak madrasah “udik” dari MA Mathalibul Huda Jepara, dan MA Abadiyah Pati. Padahal SIMOC merupakan event global bergengsi untuk kelas 2 (primary 2) hingga kelas 10 (secondary 4) yang diikuti tak kurang dari 700 peserta dari 15 negara termasuk Hong Kong, India, Uzbekistan, Bulgaria, Tiongkok, dan Rusia.

Di event nasional madrasah juga tak kalah moncer dengan SMA. Olimpiade Sains Nasional kini sudah merupakan ladang medali bagi anak-anak madrasah,dengan jumlah penghargaan tidak terhitung lagi banyaknya.

Kejayaan mereka bahkan merambah bidang-bidang yang jauh dari basis awal madrasah. Olimpiade Teknologi Ilmu Komputer Nasional yang diselenggarakan oleh Komunitas Guru TIK (KogTIK) 2016 di Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan belum lama ini banyak medalinya jatuh ke tangan Madarah Aliyah Negeri 3 Jakarta, Madrasah Aliyah Negeri 2 Palembang, dan MTsN Pamulang. Mata lombanya antara lain membuat games, design web, bloging, robotik, menggambar digital, membuat film pendek, dan project based learning.

Fakta-fakta bahwa secara masif berbagai madrasah di tanah air unjuk gigi adalah menggembirakan. Direktur Madrasah Ditjen Pendidikan Islam Kemenag Prof. Dr. Nur Kholish Setiawan MA. mengaku surprised dengan evolusi yang dicapai madrasah. Kreativitas dan inovasi membuat madrasah tampil beda dan mendapatkan rekognisi dari masyarakat,” ujarnya. “Prestasi ini harus kita pertahankan dan tingkatkan,”  tambahnya. OSN yang dulunya langganan anak SMA kini telah banyak direbut anak madrasah.

Tahun ini sebanyak 52 siswa Madrasah Aliyah dari berbagai provinsi di Indonesia menjadi bagian dari 408 peserta Olimpiade Sains Nasional. Mereka lolos dalam seleksi ketat yang terdiri atas sembilan bidang keilmuan, yaitu matematika, fisika, kimia, informatika/komputer, biologi, astronomi, ekonomi, dan Geografi.

Mereka berasal dari MAN Insan Cendekia Serpong, MAN IC Gorontalo, MAN IC Jambi, MAN IC Ogan Komering Ilir, MAN 3 Malang, MAN 4 DKI Jakarta, MA Muallimin Jogjakarta, MA Amatullah Surabaya, MAN 1 Jogjakarta, MAN 1 Lampung Tengah, MAN 2 Payakumbuh, MA Mareku Maluku, MA Darul Mursyid Sumut, MA Husnul Khotimah Jabar, dan MAN Fakfak, Papua Barat.

Demikian mengenai Evolusi Madrasah Di Zaman Yang Berubah, semoga madrasah lebih baik dan semakin lebih baik._Abdi Madrasah