On Minggu, November 23, 2014

Sebagaimana telah dikemukakan pada Pengertian Madrasah bahwa secara harfiah madrasah bisa diartikan dengan sekolah, karena secara teknis keduanya memiliki kesamaan, yaitu sebagai tempat berlangsungnya proses belajar-mengajar secara formal. Namun demikian Karel Steenbrink membedakan madrasah dan sekolah karena keduanya mempunyai karakteristik atau ciri khas yang berbeda. Madrasah memiliki kurikulum, metode dan cara mengajar sendiri yang berbeda dengan sekolah. Meskipun mengajarkan ilmu pengetahuan umum sebagaimana yang diajarkan di sekolah, madrasah memiliki karakter tersendiri, yaitu sangat menonjolkan nilai religiusitas masyarakatnya. Sementara itu sekolah merupakan lembaga pendidikan umum dengan pelajaran universal dan terpengaruh iklim pencerahan Barat.

Perbedaan karakter antara madrasah dengan sekolah itu dipengaruhi oleh perbedaan tujuan antara keduanya secara historis. Tujuan dari pendirian madrasah ketika untuk pertama kalinya diadopsi di Indonesia ialah untuk mentransmisikan nilai-nilai Islam, selain untuk memenuhi kebutuhan modernisasi pendidikan, sebagai jawaban atau respon dalam menghadapi kolonialisme dan Kristen, di samping untuk mencegah memudarnya semangat keagamaan penduduk akibat meluasnya lembaga pendidikan Belanda itu. Sekolah untuk pertama kalinya diperkenalkan oleh pemerintah Belanda pada sekitar dasawarsa 1870-an bertujuan untuk menyiapkan calon pegawai pemerintah kolonial, dengan maksud untuk melestarikan penjajahan. Dalam lembaga pendidikan yang didirikan Kolonial Belanda itu, tidak diberikan pelajaran agama sama sekali. Karena itu tidak heran jika di kalangan kaum pribumi, khususnya di Jawa, ketika itu muncul resistensi yang kuat terhadap sekolah, yang mereka pandang sebagai bagian integral dari rencana pemerintah kolonial Belanda untuk "membelandakan" anak-anak mereka. 

Pesantren memiliki tujuan yang lain lagi. Menurut Mahmud Junus, Djumhur, dan Steenbrink, pesantren didirikan untuk menjadi basis perjuangan rakyat dalam melawan penjajah. Pesantren merupakan upaya kalangan pribumi untuk mengembangkan sistem pendidikan sendiri yang sesuai dengan tuntunan agama dan kebudayaan daerah untuk melindungi diri dari pengaruh sistem pendidikan kolonial (Belanda) saat itu, melalui "politik balas budi", atau yang lebih dikenal dengan sebutan "politik etis".

Namun, meskipun pesantren berperan lebih dahulu dalam membendung pengaruh pendidikan kolonial, dibandingkan dengan madrasah, para pembaharu pendidikan Islam di Indonesia tampaknya mengakui bahwa dalam banyak hal, lembaga pendidikan Islam tradisional ini mengandung banyak kelemahan, sementara pada sisi lain lembaga pendidikan yang didirikan pemerintah kolonial Belanda harus diakui memiliki banyak kelebihan. Madrasah yang, seperti kebanyakan lembaga modern lainnya, masuk pada sistem pendidikan di Indonesia pada awal abad ke-20, ini dimaksudkan sebagai upaya menggabungkan hal-hal yang positif dari pendidikan pesantren dan sekolah itu.

Lembaga pendidikan madrasah ini secara berangsur-angsur diterima sebagai salah satu institusi pendidikan Islam yang juga berperan dalam perkembangan peningkatan mutu pendidikan di Indonesia. 

Telah disinggung bahwa madrasah berbeda pengertiannya antara masa klasik Islam dengan masa ketika lembaga pendidikan tersebut masuk ke Indonesia pada sekitar awal abad ke-20. Madrasah di Indonesia merujuk pada pendidikan dasar sampai menengah, sementara pada masa klasik Islam madrasah merujuk pada lembaga pendidikan tinggi (the institution of higher learning"). Perbedaan tersebut pada gilirannya bukan hanya merupakan masalah perbedaan definisi, tapi juga menunjukkan perbedaan karakteristik antara keduanya. Merujuk pada penjelasan Nakosteen, motif pendirian madrasah pada masa klasik Islam ialah untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum (sekuler), yang dianggap kurang memadai jika dilakukan di dalam masjid, sebab masjid merupakan tempat ibadah.

Namun, upaya untuk mengembangkan ilmu pengetahuan dan pendidikan umum itu di madrasah sejak awal perkembangannya telah mengalami kegagalan. Sebab, penekanan pada ilmu-ilmu agama (al-'ulum al-dmiyyah) terutama pada bidang fikih, tafsir, dan hadits, ternyata lebih dominan, sehingga ilmu-ilmu non-agama khususnya ilmu-ilmu alam dan eksakta, tetap berada dalam posisi pinggiran atau marjinal. Hal itu berbeda dengan madrasah di Indonesia yang sejak awal pertumbuhannya telah dengan sadar menjatuhkan pilihan pada :

  1. Madrasah yang didirikan sebagai lembaga pendidikan yang semata-mata untuk mendalami agama (li tafaqquh fiddin), yang biasa disebut madrasah diniyah salafiyah;
  2. Madrasah yang didirikan tidak hanya untuk mengajarkan ilmu pengetahuan dan nilai-nilai Islam, tapi juga memasukkan pelajaran-pelajaran yang diajarkan di sekolah-sekolah yang diselenggarakan pemerintah Hindia Belanda, seperti madrasah Adabiyah di Sumatera Barat, dan madrasah yang diselenggarakan oleh Muhammadiyah, Persatuan Islam, dan PUI di Majalengka. 
Dari keterangan di atas menarik untuk dicatat bahwa salah satu karakteristik madrasah yang cukup penting di Indonesia pada awal pertumbuhannya ialah bahwa di dalamnya tidak ada konflik atau upaya mempertentangkan ilmu-ilmu agama dengan ilmu-ilmu umum. Konflik (lebih tepat disebut perselisihan pendapat) itu biasanya terjadi antara satu organisasi keagamaan dengan organisasi keagamaan lain yang memiliki faham keagamaan yang berbeda, dan mereka sama-sama mendirikan madrasah. Misalnya NU, Muhammadiyah, Persis, Al-Irsyad,Tarbiyah Islamiyah, dan lain-lain, memiliki madrasahnya sendiri-sendiri untuk mensosialisasikan dan mengembangkan faham keagamaan mereka masing-masing.

Madrasah di Indonesia secara historis juga memiliki karakter yang sangat populis (merakyat), berbeda dengan madrasah pada masa klasik Islam. Sebagai lembaga pendidikan tinggi madrasah pada masa klasik Islam terlahir sebagai gejala urban atau kota. Madrasah pertamakali didirikan oleh Dinasti Samaniyah (204-395 H/819-1005 M) di Naisapur kota yang kemudian dikenal sebagai daerah kelahiran madrasah. Daerah Haisapur mencakup sebagian Iran, sebagian Afghanistan dan bekas Uni-Sovyet antara laut Kaspia dan laut Aral. Dengan inisiatif yang datang dari penguasa ketika itu, maka praktis madrasah tidak kesulitan menyerap hampir segenap unsur dan fasilitas modern, seperti bangunan yang permanen, kurikulum yang tertata rapi, pergantian jenjang pendidikan, dan tentu saja anggaran atau dana yang dikucurkan oleh pemerintah.

Hal ini berbeda dengan madrasah di Indonesia. Kebanyakan madrasah di Indonesiapada mulanya tumbuh dan berkembang atas inisiatif tokoh masyarakat yang peduli, terutama para ulama yang membawa gagasan pembaharuan pendidikan, setelah mereka kembali dari menuntut ilmu di Timur Tengah. Dana pembangunan dan pendidikannya pun berasal dari swadaya masyarakat. Karena inisiatif dan dananya didukung oleh masyarakat, maka masyarakat sendiri diuntungkan secara ekonomis, artinya mereka dapat memasukkan anak-anak mereka ke madrasah dengan biaya ringan. 

Sebagai lembaga pendidikan swadaya, madrasah menampung aspirasi sosial-budaya-agama masyarakat yang tinggal di wilayah pedesaan. Tumbuh dan berkembangnya madrasah di pedesaan itu menjadi petunjuk bahwa masyarakat Indonesia ternyata memiliki komitmen yang sangat tinggi terhadap pendidikan putra-putri mereka. Dari sudut pandang lain, hal itu juga berarti ikut meringankan beban pemerintah di bidang pendidikan. Dalam hal ini patut dicatat bahwa dari 36.000 jumlah madrasah yang ada (yang mengajarkan ilmu-ilmu agama dan ilmu-ilmu umum), 96 persen di antaranya dikelola oleh masyarakat secara swadaya, atau madrasah swasta. Sementara itu madrasah yang mengkhususkan diri pada mata pelajaran agama, yaitu madrasah diniyah yang dikelola masyarakat, jumlahnya telah mencapai 22.000. 

Kini madrasah dipahami sebagai lembaga pendidikan Islam yang berada di bawah Sistem Pendidikan Nasional dan berada di bawah pembinaan Kementerian Agama. Lembaga pendidikan madrasah ini telah tumbuh dan berkembang sehingga merupakan bagian dari budaya Indonesia, karena ia tumbuh dan berproses bersama dengan seluruh proses perubahan dan perkembangan yang terjadi di dalam masyarakat. Kurun waktu cukup panjang yang dilaluinya, yakni kurang lebih satu abad, membuktikan bahwa lembaga pendidikan madrasah telah mampu bertahan dengan karakternya sendiri, yakni sebagai lembaga pendidikan untuk membina jiwa agama dan akhlak anak didik. Karakter itulah yang membedakan madrasah dengan sekolah umum. Sehingga dalam Undang-Undang Sistem Pendidikan Nasional (UUSPN) 1989, madrasah didefinsikan sebagai "sekolah umum dengan ciri khas Islam", sebuah pengakuan atau sebutan yang cukup simpatik.(Abdi Madrasah)
(Sumber : madrasah.kemenag.go.id)